Kiai Wahab Hasbullah, “Panglima Tinggi” dari Nahdlatul Ulama

KIAI Haji Abdul Wahab Hasbullah adalah salah seorang kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang pengabdiannya pada negara tak perlu diragukan lagi. Berikut kisahnya.

opopjatim
Kamis, 19 Nov 2020
Kiai Wahab Hasbullah, “Panglima Tinggi” dari Nahdlatul Ulama
Kiai Wahab Hasbullah, “Panglima Tinggi” dari Nahdlatul Ulama

KIAI Haji Abdul Wahab Hasbullah adalah salah seorang kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang pengabdiannya pada negara tak perlu diragukan lagi. Berikut kisahnya.

Kiai Wahab lahir di Jombang pada 31 Maret 1888. Dia merupakan anak dari pasangan KH Hasbullah Said, pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, dengan Nyai Latifah.

Sejak kanak-kanak, Kiai Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri bagaimana cara hidup seorang santri. Dia diajak salat berjamaah dan sesekali dibangunkan malam hari untuk salat tahajud.

Kemudian, KH Hasbullah membimbingnya untuk menghafal Juz ‘Amma dan membaca Alquran dengan tartil dan fasih. Lalu, dia dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari.

Kemauan keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak sejak masa kecil. Dia tekun dan sangat cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Hingga berusia 13 tahun, Wahab diasuh langsung oleh ayahnya.

Setelah bekal ilmunya dianggap cukup, Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Dia pergi ke satu pesantren, lalu ke pesantren lainnya, termasuk ke Pesantren Bangkalan, Madura, asuhan Syekh Kholil. Dia juga sempat nyantri di Pesantren Mojosari, Nganjuk, dan Tebuireng.

Abd Mun’im DZ dalam tulisan berjudul ‘Kiai Wahab Hasbullah, Pahlawan Tanpa Gelar’ yang dimuat www.nu.or.id menyebutkan, Wahab belajar ke Makkah untuk belajar kepada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di Makkah, seperti Syekh Machfudz Termas dan Syekh Ahmad Khotib dari tanah Minang.

Saat di Makkah, selain belajar agama, Wahab juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.

Sepulang dari Makkah 1914, Kiai Wahab tidak hanya mengasuh pesantrennya di Tambakberas, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Ia tidak tega melihat kondisi bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup yang mendalam, kurang memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan serta keterbelakanagan yang diakibatkan oleh penindasan penjajah.

Melihat kondisi itu, pada tahun 1916 Kiai Wahab mendirikan organisasi pergerakan yang diberi nama Nahdlatul Wathan (kebangkitan negeri). Organisasi ini bertujuan membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia.

Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia.

Kiai Hasyim Asy’ari memimpin organisiasi ini. Sementara, Kiai Wahab menjadi sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah Kiai Bisri Syansuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.

Mencermati perkembangan dunia yang semakin kompleks, pada tahun 1919, Kiai Wahab mendirikan Taswirul Afkar (pergolakan pemikiran).
Dikutip dari Wikipedia, awalnya, kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi, berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian kalangan pemuda.

Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Taswirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Forum ini juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antartokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua.

Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.

Kembali ke Wahab, selama masa pembentukan NU tahun 1926, kiai yang juga mengidentifikasi diri sebagai penerus perjuangan Pangeran Diponegoro karena selalu mengenakan serban yang disebutnya sebagai serban Diponegoro ini, selalu tampil di depan.

PRODUK UNGGULAN

news
Rp 40.000,00
news
Rp 20.000,00
news
Rp 60.000,00
news
Rp 30.000,00
news
Rp 30.000,00